Aminullah/Subartono |
Di tengah globalisasi informasi dan ekonomi pasar, kerumunan nomad pemuja tubuh, petarung kapital, Pejuang karir, dan penjilat kekuasaan telah mengubur kecemasan eksistensial mereka, yang menyembul dari kolam keseharian ke dalam timbunan kesibukan.
Manusia memang memikul nasib tertentu, disatu sisi manusia selalu mengalami kejatuhan, yakni larut dalam keseharian, dan karena itu terasing dari adanya. Namun disisi lain, manusia adalah makhluk penanya adanya.
Menurut Heidegger, kecemasan yang menyembul keluar dari keseharian itulah perigi mistik digurun nihilisme pada zaman yang tidak religius. Kecemasan menelanjangi manusia sebagai ada yang terlempar dan menuju kematian, sekaligus memberi tawaran untuk bermukim dalam rumah eksistensi.
Mistik keseharian mungkin terdengar ganjil. Tetapi persis inilah yang dilakukan oleh Heidegger dalam Sein Und Zeit (ada dan waktu, 1927); menjernihkan keseharian sehingga dasar-dasarnya menjadi tampak dihadapan kesadaran. Sein Und Zeit merupakan pisau eksistensial untuk membedakan yang otentik dan inotentik yang banal dan yang radikal bertolak dari keseharian kita.
Descartes menghimpun segenap refleksi pada problem kesadaran yang di sebutnya subjek atau cogito. Rasio adalah Pusat realitas, Observasi menjadi pegangan kebenaran, manusia adalah subjek sejarah dan seterusnya.
Pemikiran yang berpusat pada subjek ini dianggap bertanggung jawab atas segala efek negatif yang muncul di zaman modern; bencana lingkungan akibat eksploitasi alam yang tak terkendali, atau manipulasi dan represi manusia atas manusia lain.
Komentar
Posting Komentar