Jelajah98, Artikel- Tragedi yang terjadi pada 28 Agustus 2025 di lokasi demonstrasi telah membuka kembali luka lama tentang hubungan rakyat dengan aparat negara. Seorang pengemudi ojek online (ojol) meninggal dunia setelah ditabrak anggota Brimob. Kejadian ini bukan sekadar kecelakaan biasa, melainkan sebuah gambaran betapa rentannya nyawa rakyat di hadapan kekuasaan yang seharusnya melindungi mereka.
Menurut saya, kasus ini tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja. Tidak boleh hanya berhenti pada kata maaf. Tidak boleh hanya dianggap sebagai insiden tak sengaja. Karena ketika nyawa rakyat melayang akibat tindakan aparat, negara wajib hadir memberi kepastian hukum dan keadilan.
Kata maaf tidak sebanding dengan harga sebuah nyawa. Kata maaf tidak bisa menggantikan anak yang kehilangan ayah, istri yang kehilangan suami, atau orang tua yang kehilangan anak. Kata maaf hanya pantas jika diiringi dengan tindakan nyata: pengusutan yang tegas, transparan, dan terbuka untuk publik.
Di sinilah peran Propam Polri harus ditunjukkan. Bukan sekadar simbol pengawas internal, tapi benar-benar menjalankan fungsinya sebagai penegak disiplin dan pengawal marwah institusi kepolisian. Propam harus tegas menindak anggota Brimob yang bersalah, tidak boleh ada kompromi, tidak boleh ada pembiaran, tidak boleh ada alasan untuk melindungi sesama aparat.
Jika kasus ini hanya selesai dengan kata maaf atau sekadar sanksi administratif ringan, maka publik akan semakin hilang kepercayaan terhadap kepolisian. Dan ketika kepercayaan rakyat hilang, maka institusi kepolisian tidak lagi dipandang sebagai pengayom, melainkan sebagai ancaman.
Di titik inilah DPR RI tidak boleh tinggal diam. DPR adalah wakil rakyat, dan suara mereka harus lantang dalam memperjuangkan keadilan bagi korban. DPR harus memanggil Kapolri, menuntut penjelasan resmi, dan memastikan penegakan hukum berjalan tanpa pandang bulu.
Sayangnya, kita hidup dalam situasi demokrasi yang semakin hari semakin rapuh. Demokrasi yang seharusnya berpihak pada rakyat, kini sering kali tampak berpihak pada kekuasaan. Demokrasi yang seharusnya menjamin ruang aman bagi rakyat untuk bersuara, justru berubah menjadi ruang penuh risiko bagi mereka yang berbeda pendapat.
Peristiwa ini adalah contoh nyata. Demonstrasi yang seharusnya dilindungi oleh aparat, malah berujung tragedi. Kehadiran aparat yang seharusnya menjaga keamanan, justru menimbulkan ketakutan. Bukankah ini tanda bahwa demokrasi kita sedang amburadul?
Kita tidak boleh membiarkan peristiwa ini tenggelam dalam berita-berita lain. Karena di balik kasus ini, ada pertanyaan besar yang harus dijawab: apakah negara masih berpihak pada rakyat, atau justru berpihak pada kekuasaan yang menindas rakyat?
Propam Polri harus segera bertindak. Bukan hanya demi korban dan keluarganya, tapi juga demi menjaga wibawa institusi kepolisian sendiri. Jangan sampai polisi dianggap kebal hukum. Jangan sampai rakyat melihat hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Kita harus ingat, polisi adalah aparat negara, bukan aparat penguasa. Polisi dibayar dari pajak rakyat, bukan dari kantong pribadi penguasa. Maka sudah seharusnya mereka bertugas melindungi rakyat, bukan sebaliknya.
DPR pun harus mengambil peran nyata. Jangan hanya bicara soal legislasi dan politik praktis, tetapi abai pada penderitaan rakyat. Jika DPR benar-benar wakil rakyat, maka mereka harus berdiri di barisan rakyat, bukan diam seribu bahasa.
Amburadulnya demokrasi hari ini terlihat jelas dari bagaimana negara menangani kasus-kasus semacam ini. Transparansi minim, tanggung jawab kabur, dan aparat yang salah sering kali dilindungi dengan berbagai alasan. Padahal, demokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh di atas keadilan yang ditegakkan secara konsisten.
Nyawa ojol yang melayang pada 28 Agustus 2025 itu harus menjadi titik balik. Kasus ini harus dijadikan pelajaran, bahwa setiap tindakan aparat harus ada pertanggungjawabannya. Tidak ada satupun aparat yang boleh kebal hukum. Tidak ada satupun rakyat yang boleh dikorbankan atas nama stabilitas atau kekuasaan.
Kita sebagai masyarakat harus terus bersuara. Jangan biarkan kasus ini tenggelam. Jangan biarkan kata maaf menjadi tameng untuk menutupi kesalahan. Keadilan hanya akan datang jika kita semua menuntutnya dengan lantang.
Dunia sedang menyaksikan Indonesia. Apakah kita bangsa yang menjunjung tinggi demokrasi, atau bangsa yang membiarkan rakyatnya mati sia-sia di jalanan? Apakah kita negara hukum, atau sekadar negara maaf?
Saya yakin, keadilan masih bisa ditegakkan jika ada kemauan politik yang kuat. Jika Propam Polri berani mengambil sikap tegas. Jika DPR RI berani bersuara lantang. Jika rakyat tidak berhenti menuntut kebenaran.
Pada akhirnya, keadilan untuk korban bukan hanya soal menghukum pelaku. Tetapi juga soal mengembalikan martabat rakyat, menjaga wibawa hukum, dan membuktikan bahwa demokrasi kita masih hidup.
Dan sekali lagi, mari kita tegaskan: nyawa rakyat tidak bisa selesai hanya dengan kata maaf.
Artikel: SUBARTONO
Komentar
Posting Komentar