Banyak yang menyangka kalau ide rekontekstualisasi fiqh islam itu sama dengan ijtihad. Padahal salah besar. Yang ada sangat melenceng dari kaidah ijtihad.
Justru ide rekontekstualisasi itu identik dan linier dengan metodologi pengambilan hukum cara barat. Pasti sudah mengenal Sistem Hukum Anglo Saxon, yakni suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurispudensi.
Sistem hukum ini mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang berjalan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat. Intinya hukum disesuaikan atau mengikuti waktu dan perkembangan zaman.
Maka wajar dengan logika tersebut, di barat jika dulu membicarakan seks bebas, sekarang jadi bebas. Dulu membahas LGBT sekarang dilegalkan, dan banyak yang lain. Semua berubah disesuaikan dengan keinginan dan kehendak masyarakat.
Tak jauh beda dengan ide Rekontekstualisasi Fiqh Islam. Kontruksinya sama, yakni syariat Islam disesuaikan dan diminta mengikuti perkembangan waktu dan zaman. Syariah di ubah sesuai keinginan dan kebiasaan masyarakat.
Metodologi fiqh yang ada di cap ortodox dan kuno. Tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Wajib "ditafsirkan" ulang. Akibatnya muncullah pendapat yang aneh, bahkan bertentangan dari ajaran Islam.
Seperti menyebut kalimat tauhid bukan sebagai akidah tapi pemersatu saja, menolak penerapan syariat Islam, mempertanyakan agama Bunda Khodijah, mengatakan Khilafah ajaran yang merusak, dan pemikiran sesat lainnya.
Jangan tertipu!, Ternyata ide rekontekstualisasi fiqh Islam ada hubungan gelap dengan ide hukum barat, Anglo Saxon. Nampak sekali dan ikut arahan barat. Ide tersebut terbuka mengobrak-abrik Islam. Dan ujungnya agar cahaya Islam mau dipadamkan.
Ide yang berbahaya apalagi saat ini secara masif dan terstruktur dipaksakan ke umat Islam.
Komentar
Posting Komentar