Jelajah98, Selayar - Setiap bulan Agustus, udara di berbagai sudut negeri ini dipenuhi semangat kemerdekaan. Jalan-jalan dihiasi bendera Merah Putih yang berkibar anggun, menghiasi halaman rumah, kantor pemerintahan, sekolah, hingga warung kopi di sudut desa. Lomba-lomba digelar, upacara dilaksanakan dengan penuh khidmat, dan lagu-lagu perjuangan terdengar di mana-mana. Namun, di balik semua itu, terselip sebuah pertanyaan yang jarang diucapkan secara lantang: “Merah Putih ini sebenarnya untuk siapa?”
Pertanyaan ini bukan bentuk pengkhianatan pada negara, melainkan undangan untuk merenung. Sebab, makna sebuah simbol tidak hanya ditentukan oleh sejarahnya, tetapi juga oleh bagaimana ia dijalani dalam kehidupan sehari-hari. Merah Putih bukan sekadar kain dua warna. Ia adalah representasi dari pengorbanan jutaan jiwa yang rela kehilangan nyawa, harta, dan keluarga demi satu kata: merdeka.
Namun, kemerdekaan yang mereka perjuangkan dulu tidaklah sama dengan kenyataan yang kita hadapi sekarang. Dahulu, musuh itu jelas—penjajah dengan seragam berbeda, bahasa berbeda, dan niat menguasai. Kini, musuh itu kadang tak berwajah; ia hadir dalam bentuk kemiskinan yang membelenggu, ketidakadilan yang mengakar, korupsi yang menggerogoti, serta kesenjangan sosial yang semakin melebar.
Kita sering mengibarkan Merah Putih dengan penuh kebanggaan. Tetapi, jika bendera itu hanya menjadi ornamen seremonial setahun sekali tanpa makna dalam tindakan nyata, maka kita sedang membiarkan sejarah kehilangan relevansinya. Sebab, Merah Putih seharusnya hidup di setiap kebijakan publik, di setiap keputusan politik, dan di setiap upaya kecil rakyat untuk saling membantu.
Di desa terpencil di Nusa Tenggara Timur, seorang anak SD berjalan 5 kilometer setiap pagi, melewati bukit terjal, demi bisa sampai ke sekolah yang atapnya bocor. Di pinggiran Sumatera, seorang ibu hamil harus menyeberangi sungai dengan rakit seadanya untuk mencapai puskesmas, hanya untuk mendapati bahwa bidan desa sedang bertugas di tempat lain. Di pedalaman Kalimantan, ada kampung yang belum pernah merasakan listrik sejak Indonesia merdeka, meski Merah Putih berkibar di depan balai desa mereka setiap 17 Agustus.
Kisah-kisah ini menegaskan bahwa Merah Putih belum sepenuhnya hadir untuk semua rakyat. Ia masih menjadi simbol yang lebih mudah dijumpai di foto-foto perayaan, ketimbang di wujud nyata kesejahteraan yang merata. Maka, pertanyaan “Merah Putih untuk siapa?” bukan sekadar retorika. Ia adalah ujian moral bagi bangsa ini—apakah kemerdekaan yang diwariskan oleh para pendiri bangsa benar-benar dinikmati oleh seluruh rakyat, atau hanya oleh segelintir orang yang berada di lingkaran kekuasaan.
Merah Putih bukan sekadar kain yang dijahit menjadi bendera. Ia adalah simbol yang mengakar dalam sejarah bangsa Indonesia, bahkan jauh sebelum republik ini berdiri. Filosofi Merah Putih berangkat dari makna mendalam yang hidup di berbagai wilayah Nusantara sejak ratusan tahun lalu.
Sejarah mencatat bahwa warna merah dan putih telah digunakan oleh berbagai kerajaan di kepulauan Nusantara. Kerajaan Majapahit, yang berjaya pada abad ke-13 hingga abad ke-15, mengibarkan panji berwarna merah dan putih dalam berbagai pertempuran dan acara kenegaraan. Sumber-sumber sejarah, termasuk catatan perjalanan bangsa asing, menggambarkan lambang Majapahit sebagai gula kelapa—merah di atas putih—yang menjadi identitas politik dan kultural kerajaan tersebut.
Tak hanya Majapahit, beberapa kerajaan di Maluku, Sulawesi, hingga Sumatra juga menggunakan kombinasi warna merah dan putih. Di Maluku, merah melambangkan keberanian para pejuang, sementara putih melambangkan kesucian hati dan niat yang murni. Nilai-nilai ini kemudian diwariskan secara turun-temurun dan menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat.
Ketika Indonesia berada di bawah penjajahan Belanda dan Jepang, Merah Putih menjadi simbol perlawanan yang dilarang untuk dikibarkan. Mengibarkan bendera itu sama artinya dengan menantang kekuasaan penjajah. Ada banyak kisah heroik tentang bagaimana para pemuda diam-diam menjahit bendera, menyembunyikannya, dan mengibarkannya di momen-momen bersejarah.
Salah satu momen ikonik adalah peristiwa pengibaran bendera di Hotel Yamato, Surabaya, 19 September 1945. Saat itu, pasukan Belanda mengibarkan bendera merah-putih-biru di atas hotel. Arek-arek Suroboyo yang marah, memanjat tiang bendera, merobek bagian birunya, dan menyisakan merah-putih berkibar gagah. Tindakan itu bukan sekadar simbol, tetapi pernyataan keras bahwa tanah ini adalah milik bangsa Indonesia.
Makna warna merah dan putih yang disepakati sejak kemerdekaan memiliki kedalaman filosofi:
Merah: Keberanian, pengorbanan, dan semangat juang yang tidak pernah padam. Merah mengingatkan bahwa kemerdekaan diperoleh dengan darah dan nyawa.
Putih: Kesucian, kejujuran, dan ketulusan hati. Putih menegaskan bahwa perjuangan ini bukan untuk kekuasaan pribadi, melainkan untuk cita-cita yang murni.
Ketika kedua warna ini disatukan, ia melambangkan keseimbangan antara kekuatan dan moralitas, antara tekad keras dan niat suci.
Pada 17 Agustus 1945, bendera Merah Putih yang dikibarkan di Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta, dijahit oleh Fatmawati, istri Soekarno. Bendera itu menjadi saksi lahirnya sebuah negara baru yang berdaulat. Sejak saat itu, Merah Putih menjadi lambang resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia, diatur dalam Undang-Undang, dan dihormati sebagai simbol kedaulatan.
Namun, seiring waktu, penghormatan itu kadang berhenti di upacara seremonial. Filosofi yang terkandung di dalamnya tak selalu hidup dalam kebijakan dan perilaku para pemimpin maupun rakyatnya. Padahal, para pendiri bangsa menginginkan agar Merah Putih bukan hanya dikibarkan di tiang, tetapi juga dihidupkan dalam hati setiap warga negara.
Jika Merah Putih adalah simbol persatuan dan kemerdekaan, maka seharusnya ia hadir dalam kehidupan nyata seluruh rakyat. Namun, ketika kita menelusuri kondisi sosial-ekonomi Indonesia saat ini, pertanyaan “Merah Putih untuk siapa?” menjadi semakin mendesak untuk dijawab. Data berikut menggambarkan kenyataan di balik kebanggaan nasional tersebut.
1. Kemiskinan dan Kesenjangan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2024, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai sekitar 25,22 juta orang atau 9,36% dari total populasi. Angka ini memang menurun dibanding masa pandemi, tetapi tetap menunjukkan bahwa jutaan rakyat belum merasakan kemerdekaan ekonomi yang sesungguhnya.
Lebih memprihatinkan lagi, kesenjangan (diukur dengan Gini Ratio) berada di angka 0,384, yang artinya ketimpangan pendapatan antara yang kaya dan miskin masih tinggi. Dalam bahasa sederhana: sekelompok kecil orang menguasai porsi besar kekayaan nasional, sementara sebagian besar lainnya berebut sisa yang kecil.
2. Pendidikan
Data UNESCO dan Kemendikbudristek menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah di jenjang SMA sederajat memang meningkat, tetapi kesenjangan wilayah masih lebar. Di kota-kota besar, fasilitas pendidikan relatif lengkap, sementara di daerah terpencil seperti Papua, Maluku, dan NTT, sekolah sering kekurangan guru, buku, dan sarana belajar.
Masih ada ribuan sekolah yang atapnya bocor, lantainya tanah, dan bangkunya lapuk. Bagi sebagian anak, bersekolah bukan hanya soal belajar, tetapi juga soal bertahan melewati jarak jauh, medan berat, dan keterbatasan biaya.
3. Kesehatan
Menurut Kementerian Kesehatan 2023, rasio dokter di Indonesia adalah sekitar 0,47 per 1.000 penduduk, jauh di bawah standar WHO yaitu 1 dokter per 1.000 penduduk. Dampaknya, banyak daerah terpencil yang hanya memiliki satu dokter untuk melayani ribuan orang.
Kesehatan ibu dan anak juga masih menjadi masalah serius. Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia masih berkisar 189 per 100.000 kelahiran hidup, yang artinya jauh dari target Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu 70 per 100.000 pada 2030.
4. Listrik dan Infrastruktur Dasar
Berdasarkan laporan ESDM 2024, rasio elektrifikasi Indonesia memang mencapai 99,78%, tetapi angka ini menutupi fakta bahwa masih ada desa-desa di pelosok—terutama pulau-pulau kecil seperti di Kepulauan Selayar, Maluku, dan Papua—yang belum mendapat pasokan listrik 24 jam. Sebagian hanya mendapat listrik dari genset beberapa jam di malam hari, sebagian lainnya mengandalkan lampu minyak.
Infrastruktur dasar seperti air bersih juga masih menjadi masalah. BPS 2024 mencatat, baru sekitar 90% rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses terhadap air minum layak, dan akses tersebut sangat timpang antara kota dan desa
5. Ketenagakerjaan
Tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2024 tercatat 5,15%, atau sekitar 7,4 juta orang. Namun, angka ini tidak mencerminkan pengangguran terselubung, di mana banyak orang bekerja di sektor informal dengan pendapatan yang tidak layak. Upah minimum di beberapa daerah bahkan masih di bawah kebutuhan hidup layak (KHL).
Jika melihat data di atas, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa kemerdekaan yang diwakili Merah Putih belum dirasakan secara merata. Ada yang hidup dengan fasilitas modern, gaji tinggi, dan keamanan sosial, sementara yang lain masih berjuang hanya untuk makan sehari-hari.
Jika kita memandang Merah Putih hanya sebagai simbol di atas kain, maka kita akan dengan mudah merasa puas ketika melihatnya berkibar di setiap sudut negeri. Namun, jika kita memandangnya sebagai janji—janji kemerdekaan, persatuan, dan keadilan sosial—maka kenyataan di lapangan akan membuat kita gelisah.
Di kota-kota besar, Merah Putih sering terlihat gagah: di gedung-gedung pemerintah, pusat perbelanjaan, kampus, dan jalan protokol. Tetapi di desa-desa terpencil, meski benderanya juga berkibar, kondisi hidup warganya jauh dari gagah. Anak-anak masih belajar di kelas yang atapnya bocor, ibu hamil masih menempuh perjalanan berjam-jam untuk periksa kesehatan, nelayan masih melaut dengan perahu tanpa motor, dan petani masih menunggu harga gabah yang adil.
Di sini, pertanyaan itu kembali muncul: Apakah Merah Putih itu simbol yang sama bagi mereka yang tinggal di Jakarta Pusat dan bagi mereka yang tinggal di pulau kecil tanpa listrik? Secara fisik sama, tetapi secara makna—bisa jadi berbeda.
Kemerdekaan yang Tidak Merata
Kemerdekaan seharusnya berarti bebas dari rasa takut, bebas dari kelaparan, dan bebas dari kebodohan. Namun, data BPS, Kemenkes, dan Kemendikbudristek menunjukkan bahwa kemerdekaan itu masih setengah jalan. Kita merdeka dari penjajah asing, tetapi belum sepenuhnya merdeka dari kemiskinan, ketidakadilan, dan ketimpangan.
Merah Putih yang seharusnya menjadi lambang kesetaraan justru tampak lebih dekat dengan mereka yang memiliki akses kekuasaan dan ekonomi. Sementara itu, bagi sebagian rakyat kecil, bendera ini menjadi pengingat bahwa janji kemerdekaan belum sepenuhnya ditepati.
Simbol yang Dikapitalisasi
Dalam momen-momen tertentu, kita juga melihat bagaimana Merah Putih dimanfaatkan untuk kepentingan politik atau komersial. Bendera dijadikan latar kampanye, iklan, atau slogan yang mengatasnamakan nasionalisme, padahal isinya adalah kepentingan pribadi atau kelompok. Fenomena ini membuat makna bendera terkikis—dari simbol perjuangan menjadi sekadar alat pencitraan.
Tanggung Jawab Bersama.
Meski demikian, kita tidak bisa hanya menunjuk pemerintah. Menjaga makna Merah Putih adalah tanggung jawab bersama. Apakah kita sebagai rakyat sudah berbuat sesuatu agar kemerdekaan ini dirasakan semua orang? Atau kita hanya puas melihatnya berkibar tanpa peduli bahwa di balik tiang bendera itu ada rakyat yang masih lapar?
Komentar
Posting Komentar